Pada tahun 2006 silam, masyarakat Indonesia dibuat gempar oleh kasus kopi bersianida yang pelakunya adalah Jessica Kumala wongsa alias Jess yang dimana korbannya adalah wayan Mirna salihin yang dikabarkan adalah sahabat Jessica sendiri. Dalam amar putusan majelis hakim pengadilan negeri Jakarta pusat memvonis Jessica dengan pidana penjara selama 20 tahun yang tertuang dalam putusan nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST, hingga sampai pada upaya hukum luar biasa yang kita kenal dengan Peninjauan Kembali (PK) juga di tolak oleh majelis hakim mahkamah agung. Kasus Jessica yang sudah kian terkubur lama, kita kembali muncul di tengah-tengah masyarakat melalui sebuah film documenter oleh Netflix dengan judul “ICE COLD: MURDER JESSICA WONGSO. Jika berbicara kasus Jessica maka pertanyaan yang paling fundamental adalah apakah Jessica bersalah ? ada pandangan yang mengatakan Jessica tidak bersalah, termasuk kuasa hukum Jessica pada waktu prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H.,M.M yang meyakini bahwa 99.9% Jessica tidak bersalah.
Pandangan lain, datang dari seorang ahli hukum terkemuka di Indonesia Prof. Dr. Edward Oemar Sharif Hiariej,S.H.,M.Hum. yang mengatakn bahwa beliau meyakini bahwa Jessica adalah pelaku dari pembunuhan wayan mirna salihin. Kedua pandangan diatas memberikan ketidakpastian dalam benak masyarakat, yang selalu bertanya siapa sebenarnya pembunuh wayan mirna salihin? Berdasarkan hal itu, saya ingin memberikan padangan hukum, bahwa dalam hukum pidana di kenal satu asas dalam pembuktian yaitu “In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariore” yang artinya bahwa, “dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lah lebih terang daripada cahaya” berdasarkan asas tersebut, kemudian muncul pertanyaan benarkah Jessica memasukan sianida dalam gelas mirna? Hal ini tidak ada satupun yang bisa membuktikan, termasuk cctv yang di perlihatkan dalam proses persidangan.
Kemudian, dalam sistem pembuktian perkara pidana di Indonesia kita mengenal yang namanya negatief wettelijke bewisj theorie yang artinya adalah hakim hanya bisa menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan dua alat bukti yang sah yang di tetapkan oleh undang-undang dan keyakinan hakim itu sendiri. Berdasarkan asas ini, maka inilah senjata hakim untuk menjatuhkan vonis kepada Jessica, terlepas ada unsur politiknya atau tidak. Asas in criminalibus probantiones bedent esse luce clariore dan sistem pembuktian negatif yang dianut di Indonesia menjadi bertentangan, karena hakim memiliki otoritas secara penuh untuk menjatuhkan vonis kepada seseorang walaupun terdapat unsur bukti yang tidak terpenuhi. Hal inilah kemudian yang memicu adanya keburukan dalam tatanan hukum di Indonesia sehingga yang tidak bersalah pun bisa saja dinyatakan bersalah oleh hakin karena adanya otoritas conviction intime (keyakinan hakim).
Kembali pada kasus Jessica, saya meyakini bahwa Jessica bukanlah pelaku dari pembunuhan wayan mirna salihin dengan alasan, tidak ada satupun yang melihat secara nyata dan tegas bahwa Jessica memasukan sianida dalam kopi mirna, termasuk cctv yang ada di café oliver, juga tidak terlihat Jessica memasukkan sianida dalam kopi mirna. Berkaca dari kasus Jessica, maka sudah saat nya tatanan hukum Indonesia, termasuk APH melakukan pembenahan diri, yang mampu memisahkan antara unsur murni politik dan unsur murni hukum.