Pekerja yang Membocorkan Rahasia Perusahaan mengkibatkan Kerugian Merupakan Tindak Pidana Rahasia Dagang

Mahkamah Agung berpendapat bahwa Terdakwa/Pekerja seharusnya melindungi kepentingan perusahaan tempatnya bekerja yang telah memberi gaji dan mengikat perjanjian kerja dengan Terdakwa/Pekerja.

Dalam perkara ini Terdakwa/Pekerja mengungkapkan informasi pada pihak lain yaitu kepada PT Envico sehingga perusahaan PT Kota Minyak Automation tidak dapat memenangkan tender pengadaan cerobong api dan mengalami kerugian. Karena itu Terdakwa/Pekerja dipidana karena melanggar aturan mengenai rahasia dagang.

Duduk perkaranya sebagai berikut. Terdakwa bekerja di PT. Kota Minyak Automation yang bergerak di bidang Control System Engineering Package and Value Repair untuk membuat proposal penawaran ke klien berdasarkan data dan permintaan dari sales, melakukan design, engineering, fabrikasi proyek dan bertanggung jawab ke klien.

Kemudian perusahan dimana Terdakwa bekerja mengikuti tender pengadaan barang berupa cerobong api di PT. Medco E&P Indonesia, lalu Terdakwa menjalankan tugasnya membuat design, gambar, dokumentasi, kalkulasi harga, survey harga untuk penyusunan proposal tender tersebut.

PT. Envico adalah kompetitor yang jugan mengikuti tender tersebut. Tanpa sepengetahuan Direkturnya, Terdakwa dihubungi oleh PT. Envico, karena Terdakwa mengatakan sudah keluar dari PT. Kota Minyak Automation dan ditawari Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) untuk membuat proposal yang sama.

Terdakwa lalu membuat proposal untuk PT. Kota Minyak Automation dengan harga yang lebih tinggi dengan jumlah penawaran sebesar $ 128.404,00 sedangkan untuk proposal penawaran PT. Envico lebih rendah dengan jumlah penawaran sebesar $ 121.331,00 dan sengaja membuat PT. Kota Minyak Automation tidak memiliki software untuk perhitungan “Ground Level Concentration” sehingga tidak lolos secara tekhnikal, sehingga setelah tender dibuka oleh PT. Medco E&P Indonesia perwakilan PT. Kota Minyak Automation kalah dan diurutkan nomor 2 (dua) sedangkan PT. Envico menjadi pemenang nomor 1 dalam tender tersebut.

Perbuatan Terdakwa diketahui oleh perusahaan tempat ia bekerja karena di file computer Terdakwa terdapat Purchase Order pembelian) dan PT. Metalindo Perkasa Mandiri padahal berdasarkan Pasal 30 tata tertib kerja ayat (3) Peraturan Perusahaan PT. Kota Minyak Automation seharusnya Terdakwa merahasiakan rahasia perusahaan.

Sesuai dengan keterangan ahli ARIS IDEANTO, SH, MH dari Direktorat Hak Cipta, Design Industri, Design Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana di bidang rahasia dagang dan membuka rahasia, dan akibat perbuatan Terdakwa PT. Kota Minyak Automation mengalami kerugian material sebesar kurang lebih Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan mengalami kehilangan kepercayaan dari pelanggan.

—> Putusan Mahkamah Agung Nomor 783 K/Pid.Sus/2008 tanggal 9 Januari 2009.

PEMEGANG POLIS MENINGGAL DUNIA MAKA (PERUSAHAAN) HARUS MEMBAYAR KLAIM ASURANSI PADA AHLI WARIS

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 huruf b UU Perasuransian memberikan definisi asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Orang yang berhak menjadi ahli waris diatur dalam Pasal 833 Kitab Hukum Perdata, yaitu mereka yang memiliki hubungan darah atau terikat perkawinan seperti keturunan langsung, saudara, atau keturunan dari saudara. Dalam konteks asuransi, nama ahli waris harus dicantumkan dalam polis asuransi jiwa.

Dalam hal ini yang berhak menerima manfaat atas asuransi adalah pihak-pihak atau keluarga yang berkepentingan sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian asurannsi.

Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 241 PK/PDT/2011, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:

“bahwa polis asuransi Penggugat sah, karena pemegang polis meninggal, maka Tergugat harus membayar klaim asuransi pada ahli waris pemegang polis”

Mahkamah Agung Mengabulkan Gugatan Kepemilikan Rumah Tanpa Pencatatan Perkawinan Di Pencatatan Sipil

MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN GUGATAN KEPEMILIKAN RUMAH OLEH SANG ISTRI TERHADAP KELUARGA ALM. SUAMI KARENA WALAUPUN PERKAWINAN MEREKA TIDAK DILAPORKAN DI CATATAN SIPIL NAMUN BERDASARKAN FAKTA HUKUM YANG ADA, TELAH TERJADI PERNIKAHAN YANG DILAKUKAN SECARA ADAT TIONGHOA

Mimi (Penggugat) menikah dengan Yulianto pada tanggal 26 November 1996 di Kota Malang secara adat Tionghoa dan tidak melaporkannya ke Kantor Catatan Sipil. Pada tanggal 13 Desember 2004 Yulianto meninggal dunia. Keluarga Yulianto (Tergugat) berpendapat mereka adalah ahli waris yang sah atas rumah yang dihuni Mimi dan Alm. Yulianto.

Sertifikat tanah dan bangunan tertulis atas nama Yulianto dikuasai oleh Keluarga Alm. Yulianto sedangkan Mimi menguasai fisik rumah tersebut. Berdasarkan fakta yang terungkap, rumah tersebut adalah rumah yang dibangun bersama oleh Mimi dan Yulianto selama mereka pacaran dan rumah itu memang diperuntukkan sebagai rumah bersama mereka setelah melangsungkan pernikahan.

Setelah menikah mereka tinggal di rumah tersebut. Pengadilan Negeri Malang memutuskan perkawinan Mimi dan Alm. Yulianto adalah sah dan Mimi berhak atas rumah tersebut. Keluarga Alm. Yulianto mengajukan banding dan Pengadilan Tinggi Surabaya memutuskan bahwa pernikahan antara Mimi dan Yulianto secara Tionghoa yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan SIpil adalah tidak sah sehingga Mimi tidak berhak atas rumah tersebut dan menetapkan keluarga Alm. Yulianto sebagai para ahli waris yang berhak atas rumah tersebut.

Mimi mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung dalam pertimbangannya berpendapat bahwa berdasarkan fakta hukum yang ada, telah terjadi perkawinan antara Mimi dengan Yulianto secara adat Tionghoa pada tanggal 26 November 1996.

Karena itu, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan dan menyatakan Mimi (Penggugat) berhak atas rumah atas nama Yulianto dan memerintah keluarga Alm. Yulianto untuk menyerahkan sertifikat rumah tersebut kepada Mimi.

Larangan dan Sanksi Bagi Suami Yang Menikah Dengan Orang Lain Padahal IA Masih Terikat Perkawinan

Larangan dan Sanksi Bagi Suami Yang Menikah Dengan Orang Lain Padahal IA Masih Terikat Perkawinan

Terdakwa dan Moza adalah suami istri yang sah, lalu Terdakwa menikah lagi dengan Ati pada tanggal 28 Juni 2012, meskipun Terdakwa dan Moza masih merupakan pasangan suami istri yang belum bercerai sebagaimana Kutipan Akta Nikah Nomor 316/16Nll/2012 tanggal 29 Juni 2012. Alasan Terdakwa menikahi Ati adalah karena Ati telah hamil sehingga Terdakwa memutuskan untuk bertanggung jawab. Perkawinan pun dilangsungkan dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

Atas perbuatannya tersebut, Pengadilan Negeri Muara Teweh memutuskan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu” sebagaimana diatur dalam Pasal 279 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Terdakwa pun dijatuhi dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Palangkaraya. Atas putusan tersebut, Penuntut Umum mengajukan kasasi.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum dan perbuatan materiil Terdakwa telah memenuhi kualifikasi tindak pidana mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, melanggar Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHP. Akan tetapi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa perlu diperbaiki karena sang istri belum memaafkan perbuatan Terdakwa. Mahkamah Agung pun menolak kasasi dan menambah hukuman Terdakwa menjadi pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.

-> Putusan Mahkamah Agung Nomor 415 K/Pid/2023, tanggal 11 April 2023.

PENGADILAN MEMBEBASKAN TERDAKWA ANTARA LAIN KARENA BAP DIBUAT DENGAN TEKANAN/PAKSAAN POLISI DAN SELAMA PEMERIKSAAN TERDAKWA TIDAK DIDAMPINGI PENASIHAT HUKUM

Mahkamah Agung menolak kasasi Jaksa Penuntut Umum karena Terdakwa telah mencabut semua keterangannya dalam BAP yang dibuat berdasarkan tekanan/paksaan dari pihak penyidik Polri dan saksi verbalisan tidak dapat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum untuk menguji bantahan Terdakwa. Terlebih dari itu selama pemeriksaan Terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum. Penasehat Hukum hanya menandatangani BAP setelah siap atas permintaan Penyidik.

Menurut Mahkamah Agung, keadaan di atas adalah jelas bertentangan/melanggar KUHAP (Pasal 52, 54, 55 dan Pasal 56 KUHAP). Selain itu, barang bukti ganja di temukan saks i Padr i dan Rasid Padang di atas sepeda motor yang dikemudikan Andre dan Putra (DPO), bukan di atas sepeda motor Terdakwa.

Putusan Mahkamah Agung ini adalah mengenai perkara pidana Terdakwa Fr (50 tahun) dan Yu (27 tahun) yang keduanya merupakan anak dan orang tua (ayah) yang bekerja sebagai petani di kabupaten Aceh Tenggara. Saat itu Terdakwa Yu didatangi oleh An dan Pu (keduanya berstatus DPO) yang mengajak Terdakwa Yu untuk mengantar atau membawa barang (yang diketahui adalah ganja) ke Medan, kemudian Terdakwa Yu mengajak serta ayahnya Terdakwa Fr. An dan Pu memberikan uang panjar kepada Terdakwa Yu dan Fr Rp. 50.000,- yang mana dijanjikan upah sebesar Rp. 100.000,-.

Para Terdakwa bertemu dengan An dan Pu di Sigala-gala dengan menaiki sepeda motor, sedangkan An dan Pu menaiki sepeda motor yang berbeda. Para Terdakwa berjalan duluan yang diikuti oleh An dan Pu dengan membawa ganja yang dilakban dan dimasukkan kedalam tas. Setiba dijalan umum Ds Lau Rima ada razia dan Para Terdakwa berhenti sedangkan An dan Pu melarikan diri dengan meninggalkan motornya dan 2 buah tas yang isinya ganja. Kemudian karena hal tersebut Para Terdakwa diproses hukum.

–> Putusan Mahkamah Agung No. 2588K/Pid.Sus/2010, tanggal 27 April 2011.

PRAPERADILAN DI KABULKAN HAKIM ex. VINA

Praperadilan Pegi Setiawan dikabulkan secara keseluruhan dan penetapan atas dirinya sebagai Tersangka dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. POLDA JAWA BARAT dinyatakan terbukti mengabaikan prosedur penetapan Daftar pencarian orang ( DPO) maupun Penetapan Pegi sebagi Tersangka. Putusan itu, telah mengaktualisasikan prinsif negara hukum yg senantiasa mengedepankan persamaan, pembatasan kekuasaan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. KUHAP mengadopsi semangat yg sama dengan menganut asas aqusator dan asas perduga tidak bersalah ( presemtion of innocence) dimana menempatkan semua orang dengan posisi dan derajat yg sama antara ter periksa dgn pemeriksa. Dengan demikian, semua bentuk kesewenang- wenangan dilarang keras sehingga harkat dan martabatnya sebagai manusia terlindungi secara optimal. Selanjutnya, tersangka atau ter periksa tdk dapat dipersalahkan sebelum ada putusan pengadilan yg berkekuatan hukum tetap. Itulah sebabnya, main hakim sendiri merupakan perlawanan yg nyata terhadap prinsif negara hukum dan KUHAP. Putusan Mahkamah Konstitusi no 21 tahun 2014 menjabarkan lebih terperinci mengenai pentingnya ketelitian dan kecermatan POLRI selaku penyelidik atau penyidik mematuhi prosedur hukum dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka agar hak asasi mereka yg dijamin secara konstitusional dpt diwujudkan secara utuh. Namun demikian, kita harus tetap menghargai kemauan yg keras dari POLDA JABAR dlm menuntaskan kasus Vina dan Eki yg dibunuh secara biadab sekitar 8 tahun yg lalu.

MENGENAL GUGATAN LAIN-LAIN TERHADAP DAFTAR BOEDEL PAILIT OLEH PIHAK KETIGA DALAM KEPAILITAN

MENGENAL GUGATAN LAIN-LAIN TERHADAP DAFTAR BOEDEL PAILIT OLEH PIHAK KETIGA DALAM KEPAILITAN

Gugatan Lain-Lain diatur pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU:

“Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor.”

Pada penjelasan pasal 3 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa :

“Yang dimaksud dengan “hal-hal lain”, adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitor, kreditor, kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. Hukum Acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk “hal-hal lain” adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya.”

Berdasarkan pasal 3 ayat 1 diatas maka Gugatan Lain-Lain dibagi menjadi 4 jenis:

1. Gugatan Actio Pauliana yang dapat dilakukan Kurator

2. Gugatan Perlawanan terhadap Daftar Harta Pailit yang dapat dilakukan pihak ketiga yang merasa dirugikan.

3. Bantahan Terhadap Daftar Piutang.

4. Bantahan Terhadap Daftar Pembagian.

Hal ini sejalan dengan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 725 K/Pdt.Sus-Pailit/2015, tertanggal 14 Juni 2016 Jo
Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 2/Pdt.Sus/Gugatan Lain-Lain/2015/PN.Mks, tertanggal 1 September 2015

 

DIREKSI BERTANGGUNG JAWAB APABILA LALAI DALAM TUGASNYA

DIREKSI BERTANGGUNGJAWAB PENUH SECARA PRIBADI APABILA TERBUKTI LALAI MENJALANKAN TUGASNYA YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN

Pada Pasal 97 ayat (3) UU 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa:

“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.

Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 2541 K/Pdt/2004 tanggal 10 Oktober 2006 yang menyatakan bahwa:

“Hasil keputusan RUPS memutuskan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah/lalai menjalankan tugasnya”.

PKPA_ Praktek Peradilan Tata Usaha Negara

Bagi calon advokat yang inin melaksanakan tugas profesinya tidak akan ketinggalan dengan Namanya PKPA sebagai syarat wajib bagi seorang sarjana hukum yang ingin melaksanakan tugas baik secara litigasi maupun non litigasi dipengadilan, hal tersebut di sampaikan oleh managing Pathner Hk Law Education Center Medan Bapak Toha Panjaitan di Hotel Grand Mercure Medan. tuturnya:’  sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Pasal 2 Ayat (1) berbunyi” Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”.

Atas dasar inilah bahwa secara formil pelaksanaan PKPA menjadi wajib bagi sarjana hukum yang ingin melaksanakan tugas dan fungsinya, oleh sebab itu penting untuk dilakukan Pendidikan, dan tuturnya juga, setiap orang boleh melaksana konsultasi hukum, tetapi Ketika ada perkara-perkara lain yang membutuhkan advokat maka disini pentingna Pendidikan tersebut, sehingga seorang klien dapat membedakan mana yang advokat mana yang tidak.

Pelaksananan pengabdian ini berlangsung 3 hari di Hotel Grand Mercure tentang praktek hukum acara di pengadilan Tata Usaha Negara, dimana Narasumber nya Mhd. Ansor Lubis, SH,MH yang berpokus membahas tentang kepentingan peradilan tun dalam ketatanegaraan; Dr. Iqbal Shulhan focus kepada Sifat Peradilan Tun dan Geral Elisa Munte focus kepada peraktek di lapangan.

Asas Contrarius Actus vs Final and Binding

Asas Contrarius Actus vs Final and Binding

Hukum Administrasi menyatakan bahwa Keputusan Badan / Pejabat Administrasi harus dibatalkan oleh Badan / Pejabat yang menerbitkannya.

Ibarat sumber air yang mengalir ke muara, maka bila ada yg keliru dirunut balik ke hulu / sumbernya.

Lain Keputusan TUN lain pula Putusan Hakim, yang pembatalannya hanya bisa dilakukan oleh Pengadilan di atasnya (Banding) atau Kasasi, atau Upaya Hukum Luar Biasa (PK) atau bahkan yang bersifat Final and Binding seperti Putusan MK atau Putusan Arbitrase Tidak Dapat Dibatalkan oleh Hakim yang telah memutuskannya alias Final and Binding sejak dikeluarkannya.

Keputusan TUN (Beschiking) adalah instrumen kewenangan publik karena tugas Eksekutif itu menjalankan kewenangan publik sebagai wujud kedaulatan rakyat. Sedangkan Putusan Hakim (Yudikatif) itu menjalankan Supremasi Hukum dan Mewakili Tuhan. Maka harusnya tuhan tak bisa salah. Putusannya adalah kepastian.

Masalahnya adalah bagaimana bila Putusan Hukum yang Final and Binding itu cacat moral dan etika dalam proses pembuatannya ?

Satu-satunya jalan adalah Kedaulatan Rakyat yang bisa mengoreksinya…

Itulah mengapa ada ungkapan Salus Populi Supema Lex dan Vox Populi Vox Dei

Suara Rakyat adalah Hukum Tertinggi, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan…