Kewenangan Mahkamah Konstitusi Membatalkan Norma dalam Undang-Undang

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Membatalkan Norma dalam Undang-Undang

Kewenangan MK untuk membatalkan norma dalam undang-undang menjadikan MK juga disebut sebagai negative legislator, yakni lembaga yang berwenang menghapus atau membatalkan norma dalam undang-undang apabila bertentangan dengan UUD 1945.

MK tidak berwenang untuk membentuk norma baru karena hal tersebut merupakan kewenangan lembaga legislatif atau positive legislator.

Oleh karenanya, apabila terdapat putusan MK yang menyatakan suatu bagian, pasal, atau ayat dalam UU bertentangan dengan UUD 1945, maka bagian, pasal, atau ayat itu tidak memiliki daya guna (efficacy) tapi tetap berlaku/tertulis.

Menurut Maria Farida Indrati S, dalam hal putusan judicial review dikabulkan oleh MK, maka bagian, pasal, atau ayat yang bertentangan dengan UUD 1945 masih memiliki daya laku (validity) sampai dinyatakan dicabut oleh lembaga yang berwenang tetapi tidak memiliki daya guna (efficacy).

Tidak memiliki daya guna dapat diartikan bahwa pasal tersebut tidak lagi efektif digunakan atau tidak dapat digunakan lagi. Oleh karenanya, pasal yang bertentangan dapat diabaikan dengan mendasarkan pada putusan MK.

Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 57 ayat (1) UU 7/2020 tentang MK menyebutkan putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pengaturan Hukum Eksekusi Mati

Pengaturan Hukum Eksekusi Mati

Eksekusi hukuman mati dilaksanakan setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh pengadilan dan juga adanya pertimbangan grasi oleh presiden. Dikutip dari berbagai sumber, terpidana serta anggota keluarga akan diberitahukan 72 jam sebelum eksekusi digelar mati digelar. Biasanya pelaksanaan hukuman mati dilakukan di Nusakambangan.

Terpidana mati akan dibangunkan tengah malam dan dibawa ke lokasi yang jauh serta dirahasiakan untuk kemudian dieksekusi oleh regu tembak. Metode ini tidak diubah sejak tahun 1964, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964.

Terpidana akan ditutup matanya kemudian diposisikan di daerah berumput. Ia akan diberi pilihan duduk atau berdiri. Regu tembak akan menembak tepat di jantung terpidana mati yang telah ditandai oleh pita hitam oleh dokter.

Setelah ditembak, dokter yang bertugas akan melakukan pengecekan. Jika masih didapati tanda-tanda kehidupan, maka regu tembak akan diberi kesempatan untuk mengeksekusi kembali.

Selain Pasal 340 KUHP, masih ada beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur ancaman hukuman mati. Seperti diketahui, Ferdy Sambo dijerat Pasal 340 dalam pembunuhan berencana Brigadir J.

STATUS HUKUM DEPORTASE WNA YANG MELANGGAR HUKUM DI INDOENSIA

Deportasi merupakan tindakan paksa mengeluarkan orang asing dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 75 ayat (1) UU 6/2011: “Deportasi merupakan sebuah tindakan administratif keimigrasian yang dilakukan oleh pejabat imigrasi yang berwenang terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia”.yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menaati peraturan perundang-undangan. Selain itu deportasi juga dilakukan karena orang asing yang berada di wilayah Indonesia berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya.

Orang asing yang dapat di deportasi menurut ketentuan dalam UU 6/2011 yaitu sebagai berikut :

Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang Asing dikeluarkan bagi Orang Asing yang tidak mempunyai Dokumen Perjalanan yang sah dan negaranya tidak mempunyai perwakilan di Indonesia (Pasal 27 ayat 2 dan 3)

  1. Izin tinggal kunjungan berakhir (Pasal 51)

  2. Izin tinggal terbatas berakhir (Pasal 53)

  3. Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia kurang dari 60 hari dari batas waktu Izin Tinggal dikenai biaya beban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 78 ayat 1)

  4. Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 hari dari batas waktu Izin Tinggal dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan.(Pasal 78 ayat 3)

Problematika Hukum Terhadap Orang diduga Gangguan Jiwa

 

Problematika Hukum Terhadap Orang diduga Gangguan Jiwa

Penegakan Hukum Pidana melalui pendekatan sistem dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang secara umum dapat diartikan sebagai proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum.           SPP di Indonesia, terbagi atas beberapa subsistem. Sedangkan terkait Kelembagaan, secara tegas yang terpisah, Terminologi lima (5) institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa Penegak Hukum yang terdiri Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.

Dalam proses penegakan hukum melalui SPP, secara ideal harus dapat memenuhi tiga (3) nilai dasar hukum, yakni Nilai Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemampaatan. Namun model pendekatan Sistem Peradilan Pidana saat ini terhadap pelaku ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) masih dirasa belum ideal. Hal itu disebabkan, masih belum tercapainya Nilai Keadilan, Kepastian dan Kemampatan.

Ditambah masih adanya perbedaan penanganan yang timbul akibat pemisahan lembaga, sehingga memunculkan perbedaan pikiran mengenai kapan dapat diterapkannya penghapusan pidana terhadap pelaku dengan pertimbangan kondisi kejiwaan yang cacat dalam pertumbuhan, dan/atau terganggu yang dikarenakan penyakit tersebut.

Kondisi ini tidak boleh dianggap remeh. Merujuk hasil riset pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyatakan, tiap tahun jumlah ODGJ di Indonesia semakin meningkat. Data Kemenkes menyebutkan, pada tahun 2018 ada sekitar 450.000 ODGJ yang dikategorikan berat. Ditambah kondisi atas dampak pandemi COVID-19, tentu dapat memicu jumlah ODGJ di Indonesia menjadi bertambah. Sementara, permasalahan pidana bilamana dilakukan oleh ODGJ akan semakin heboh dan menjadi pemberitaan media apabila korban adalah tokoh yang dihormati.

Perbuatan pidana yang berkaitan dengan “sara” apabila dilakukan oleh penderita ODGJ, hal itu akan berpotensi munculnya perang opini. Di tengah kemajuan teknologi sekarang ini, ada yang menginformasikan menyebutkan, bahwa pelaku “pura pura gila”. Lalu pertanyaannya: “Apakah tujuan melakukan proses peradilan sudah tercapai apabila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?”.

Uraian di atas mengutarakan, bahwa SPP yang ada saat ini, dengan nuansa kental pemisahan lembaga sepertinya perlu dilakukan rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Khusus terhadap perkara orang yang melakukan tindak pidana dimana Pelaku diduga penderita ODGJ, yakni dengan jalan penguatan fungsi dominis litis Kejaksaan dengan cara membentuk Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

Tentu hal itu sejalan dengan Pasal 31 UU 16/2004 tentang Kejaksaan dan perubahannya. Disini, Kejaksaan dapat meminta kepada Hakim untuk menempatkan seorang Terdakwa di Rumah Sakit, Tempat Perawatan Jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Singkatnya dalam sistem peradilan terpadu tersebut konsepnya para penegak hukum harus berorientasi terhadap penyelesaian perkara bukan sebatas pemisahan lembaga serta berkas kertas perkara belaka ,dengan alur kerja yakni; penyidik sebelum menaikan penyidikan wajib langsung berkordinasi kepada jaksa selanjutnya jaksa selaku pengendali perkara meminta dan jika diperlukan dapat mendampingi penyidik untuk dapat menyiapkan alat bukti sebagaimana 184 KUHAP berupa; keterangan ahli, surat ,saksi selanjutnya alat bukti tersebut dijadikan dasar jaksa memohon penetapan pengadilan.

Selanjutnya dipengadilan telah dibentuk hakim tunggal yang melakukan pemeriksaan atas permohonan penetapan yang diajukan jaksa dan menuangkan hasil pemeriksaan tersebut dalam bentuk putusan penetapan dengan dasar penetapan hakim tersebutlah jaksa menempatkan ke Rumah sakit jiwa dan menghentikan penangan perkara sehingga tercapailah keadilan, kepastian dan kemampatan hukum terhadap perkara yang dilakukan oleh ODGJ

 

 

SERBA-SERBI PENDAPAT AHLI TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI BATAS USIA PENCALONAN CAPRES-CAWAPRES

“… Saya sedih banget sih mendengarnya, sayang. Dan beberapa sahabat saya kan ada disitu dan kalau engga salah Saldi Isra juga bingung sebagai Hakim MK. Ada Gintur Hamzah ada Saldi itukan junior-junir saya, Bingung Juga”.  Dr. Indra Perwira ( Pakar HTN UNPAD)

“… Soal umur itu sesuangguhnya itu adalah tidak ada isu-isu konstitusionalitas di situ,… syarat usia itu sepenuhnya merupakan legal policy, atau kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang yang tidak boleh di masuki oleh Mahkamah Konstitusi”. Dr. I Dewa Gede Palguna ( Pakar HTN Universitas Udayana)

“… Kok bisa tiba-tiba konflik kepentingan di langgengkan, kon bisa tiba-tiba konsistensi open legal policy (kebijakan hukum terbuka) berubah, kok tiba-tiba (hakim) yang awalnya konsisten menolak pengalaman tiba-tiba berubah”.Dr. Zainal Arifin Mochtar (Pakar HTN Universitas UGM)

“… Keputusan MK ii jelas-jelas sudah masuk keranah politik. Jadi bukan mahkamah hukum, tapi politik, menjadi bagian dari politik”.Dr. Aan Eko Widiarto ( Pakar HTN Universitas Brawijaya)

“..Putusan MK itu sama saja membuat masyarakat bingung ada dua sisi yang berbeda dan tidak mencerminkan konsistensi sebagai Mahkamah Konstitusi”. Titi Anggreni (Pakah HTN Universitas Indonesia)

“… MK menghasilkan putusan ini penuh drama tanpa ada makna apapun. Ujung-ujungnya tetap memberikan karpet merah kepada Gibran. Betul-betul Mahkamah Keluarga”. Feri Amsari ( Pakar HTN Universitas Andalas)

 

MENJERAT PIDANA BAGI PEMAIN DAN PENERIMA ENDORSE SITUS JUDI ONLINE

Merujuk Pasal 303 ayat (3) KUHP, judi artinya setiap permainan yang keuntungannya digantungkan pada peruntungan semata. termasuk segala bentuk pertaruhan yang keputusan permainannya tidak ditentukan oleh orang-orang yang bermain, tergolong sebagai judi. Larangan judi diatur Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP Lama dan Pasal 426 dan Pasal 427 UU 1/2023 tentang KUHP Baru. Sedangkan, terkait judi online diatur Pasal 27 ayat (2) UU ITE.

Endorse atau endorsement adalah istilah untuk menggambarkan bentuk promosi yang dilakukan dengan memanfaatkan selebritas/pesohor, orang yang terkenal, atau yang memiliki pengaruh bagi orang banyak. Beberapa tokoh yang seringkali dituju dalam media promosi ini adalah public figure seperti aktor, aktris, selebgram, youtuber dan lainnya.

Seperti yang dilakukan oleh DJ Dinar Candy. Melalui Instagram pribadi miliknya, mempromosikan judi online pada Senin 11 Mei 2020 lalu, hal tersebut sontak mendapatkan perhatian dan protes dari warganet.

Jerat hukum selebgram atau artis yang endorse judi online menggunakan Pasal 27 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (2) UU 19/2016.

Titik berat penerapan Pasal 27 ayat (2) UU ITE adalah perbuatan seseorang mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya konten atau muatan perjudian yang dilarang atau tidak memiliki izin berdasarkan per-UU-an.

Sementara itu, Pejabat Kemenkumham menilai​​​ promosi judi online secara masif di media sosial dan aplikasi pesan singkat menyulitkan aparat memberantas situs perjudian daring di internet. “Banyak pihak kesulitan memblokir situs judi online karena promosinya masif dan mudah sekali,”

In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariore “Pembuktian Harus Lebih Terang dari Sinar Matahari”

Pada tahun 2006 silam, masyarakat Indonesia dibuat gempar oleh kasus kopi bersianida yang pelakunya adalah Jessica Kumala wongsa alias Jess yang dimana korbannya adalah wayan Mirna salihin yang dikabarkan adalah sahabat Jessica sendiri. Dalam amar putusan majelis hakim pengadilan negeri Jakarta pusat memvonis Jessica dengan pidana penjara selama 20 tahun yang tertuang dalam putusan nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST, hingga sampai pada upaya hukum luar biasa yang kita kenal dengan Peninjauan Kembali (PK) juga di tolak oleh majelis hakim mahkamah agung. Kasus Jessica yang sudah kian terkubur lama, kita kembali muncul di tengah-tengah masyarakat melalui sebuah film documenter oleh Netflix dengan judul “ICE COLD: MURDER JESSICA WONGSO. Jika berbicara kasus Jessica maka pertanyaan yang paling fundamental adalah apakah Jessica bersalah ? ada pandangan yang mengatakan Jessica tidak bersalah, termasuk kuasa hukum Jessica pada waktu prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H.,M.M yang meyakini bahwa 99.9% Jessica tidak bersalah.

Pandangan lain, datang dari seorang ahli hukum terkemuka di Indonesia Prof. Dr. Edward Oemar Sharif Hiariej,S.H.,M.Hum. yang mengatakn bahwa beliau meyakini bahwa Jessica adalah pelaku dari pembunuhan wayan mirna salihin. Kedua pandangan diatas memberikan ketidakpastian dalam benak masyarakat, yang selalu bertanya siapa sebenarnya pembunuh wayan mirna salihin? Berdasarkan hal itu, saya ingin memberikan padangan hukum, bahwa dalam hukum pidana di kenal satu asas dalam pembuktian yaitu “In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariore” yang artinya bahwa, “dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lah lebih terang daripada cahaya” berdasarkan asas tersebut, kemudian muncul pertanyaan benarkah Jessica memasukan sianida dalam gelas mirna? Hal ini tidak ada satupun yang bisa membuktikan, termasuk cctv yang di perlihatkan dalam proses persidangan.

Kemudian, dalam sistem pembuktian perkara pidana di Indonesia kita mengenal yang namanya negatief wettelijke bewisj theorie yang artinya adalah hakim hanya bisa menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan dua alat bukti yang sah yang di tetapkan oleh undang-undang dan keyakinan hakim itu sendiri. Berdasarkan asas ini, maka inilah senjata hakim untuk menjatuhkan vonis kepada Jessica, terlepas ada unsur politiknya atau tidak. Asas in criminalibus probantiones bedent esse luce clariore dan sistem pembuktian negatif yang dianut di Indonesia menjadi bertentangan, karena hakim memiliki otoritas secara penuh untuk menjatuhkan vonis kepada seseorang walaupun terdapat unsur bukti yang tidak terpenuhi. Hal inilah kemudian yang memicu adanya keburukan dalam tatanan hukum di Indonesia sehingga yang tidak bersalah pun bisa saja dinyatakan bersalah oleh hakin karena adanya otoritas conviction intime (keyakinan hakim).

Kembali pada kasus Jessica, saya meyakini bahwa Jessica bukanlah pelaku dari pembunuhan wayan mirna salihin dengan alasan, tidak ada satupun yang melihat secara nyata dan tegas bahwa Jessica memasukan sianida dalam kopi mirna, termasuk cctv yang ada di café oliver, juga tidak terlihat Jessica memasukkan sianida dalam kopi mirna. Berkaca dari kasus Jessica, maka sudah saat nya tatanan hukum Indonesia, termasuk APH melakukan pembenahan diri, yang mampu memisahkan antara unsur murni politik dan unsur murni hukum.

BARANG DARI ONLINESHOP TIDAK SESUAI DENGAN FOTO

APAKAH BOLEH KEMBALI ?

Perkembangan hukum memang memberikan kemudahan bagi setiap orang terutama dalam hal memenuhi kebutahan sehari-hari, seperti halnya kebutuhan belanja rumah, sekolah, kantor dan lain-lain, tetapi akan lebih memudahkan lagi dengan melakukan transaksi pembelian dengan menggunakan alat media online.

Kemudahan tersebut rupanya dapat menimbulkan bahaya yang signifikan akan kerugian konsumen (pembeli) apabila pembelian tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya (aslinya) bahkan apa yang di beli berbeda dengan apa yang datang.

Perlu di ketahui sesuai  dengan Pasal 4 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.

 Dari ketentuan diatas pembeli yang melakukan transaksi tetapi tidak sesuai dengan apa yang diterima dapat dimintai pertanggungjawaban hukum terhadap si pelaku usaha yang telah merugikan konsumen. Dan Langkah yang dapat dilakukan adalah untuk menggugat pelaku usaha melalui : (1). Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); (2). Peradilan yang Berada pada lIngkungan Peradilan Umum).

Tetapi apabila pembelian di lakukan dengan marketplace  sebaiknya terlebih dahulu menempuh proses pengajuan pengembalian dana yang tersedia di marketplace tersebut. Selain itu penting bagi konumen (pembeli) untuk memeriksa terlebih dahulu apakah marketplace menggunakan sistem penyelesaian dengan BPSK atau Peradilan sebab, tidak semua marketplace menggunakan penyelesaian dengan menggunakan BPSK atau Peradilan.

 

TERHALANG NIKAH SAMA TEMAN SATU KANTOR KARENA PERATURAN PERUSAHAAN ? INI JAWABANNYA !

TERHALANG NIKAH SAMA TEMAN SATU KANTOR KARENA PERATURAN PERUSAHAAN ? INI JAWABANNYA !

 Hukum memang harus memberikan kepastian terhadap setiap warga negara agar bisa menjalankan aktifitasnya sesuai dengan keinginanannya dan mematuhi rambu-rambu konstitusi yang telah di tentukan oleh negara, tetapi akan menjadi aneh dan tidak berkepastian hukum ketika Perusahan membuat aturan internal yang pada pokoknya karyawan sekantor “dilarang menikahi teman sekantor”. Ini jelas melanggar hak konstitusional seseorang untuk mendapatkan keturunan atau seseorang yang dicintai. Sebab hukum hadir untuk mensejahterakan rakyat, dan bukan malah menciderai hak-hak rakyat mendapkan kepastian hukum dengan cara melarang hak seseorang mendapatkan pilihan hidup “nikah/ keturunan”.

Untuk memberikan kepastian hukum terhadap “ menikahi teman sekantor” tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengabulkan putusan Uji Materil Pasal 153 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan”.

Sejak Putusan MK No. 13/PUU-XV/2017, Tertanggal 14 Desember 2017, Pasal 153 Ayat (1) Tersebut “Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Yang Mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945” dan itu artinya: apabila ada perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama yang mencantumkan Klausul tentang Pemecatan apabila menikah dengan satu kantor maka hal tersebut tidak bisa dilaksanakan/ batal demi hukum sebab Pasal tersebut “Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat”. Dan apabila itu tetap dilaksanakan oleh Perusahan dilakukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).

Dari penjelasan diatas dapat ditarik benang lurusnya bahwa “Pernikahan dengan teman Sekantor Tidak Terhalang Dengan Peraturan Perusahan yang melarang Karyawan Menikahi Sesama Teman Satu Kantor”.