ALASAN-ALASAN PEMBATALAN LELANG MELALUI GUGATAN DI PENGADILAN NEGER

Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 112 K/Pdt/1997, Tanggal 20 April 1997 menyatakan bahwa:

Bahwa yang menjadi pokok persoalan dalam perkara ini adalah apakah pelelangan dapat dibatalkan atas alasan:

  1. Harga lelang jauh lebih rendah dari nilai hipotek;

  2. Harga lelang jauh lebih rendah dari nilai objek jaminan;

  3. Pemenang lelang adalah pegawai dari Pemohon lelang.

Usia Notaris Bisa di Perpanjang 70 Tahun, Dengan Syarat !

Pengujian terhadap Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dikabul oleh Mahkamah Konstitusi.

Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Suhartoyo secara bulat menyatakan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang kembali setiap tahun sampai berumur 70 (tujuh puluh) tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang dilakukan secara berkala setiap tahun pada rumah sakit umum pemerintah pusat, rumah sakit umum daerah, atau rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri yang menangani urusan di bidang hukum”

Mahkamah menilai Notaris senior masih dibutuhkan terutama di daerah-daerah, selain untuk transfer of knowledge juga untuk peralihan dari Notaris generasi senior kepada Notaris generasi muda sehingga tidak terjadi gap yang terlalu jauh. Untuk itu, Mahkamah menilai perpanjangan masa jabatan Notaris masih dibutuhkan tentunya dengan persyaratan kesehatan jasmani dan rohani yang harus dipenuhi oleh Notaris yang akan memperpanjang masa jabatannya.

Batasan umur dalam perpanjangan jabatan Notaris haruslah memenuhi prinsip rasionalitas. Jika dibandingkan dengan profesi lain seperti Dosen dan Hakim perpanjangan umur pensiun profesi-profesi ini dibatasi sampai umur 70 tahun. Seperti umur pensiun dosen yang 65 tahun, namun untuk guru besar bisa mencapai umur 70 tahun. Demikian juga Hakim, jika Hakim Pengadilan Negeri dibatasi sampai umur 65 tahun, namun Hakim Agung bisa mencapai umur 70 tahun, sebagaimana juga dengan Hakim Konstitusi. Selain itu, usia harapan hidup orang Indonesia juga semakin meningkat menjadi rata-rata 73,93 tahun berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia.

Oleh karena pembentuk undang-undang sudah membuka katup untuk memperpanjang, dengan alasan memenuhi prinsip rasionalitas, menurut Mahkamah, perpanjangan masa jabatan Notaris akan menjadi rasional jika batasannya lebih dari umur 67 tahun, yang menurut Mahkamah rasional hingga maksimal umur 70 tahun dengan merujuk umur pensiun rata-rata jabatan lain yang sejenis.

Dengan perpanjangan tersebut, diharapkan Notaris masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sampai umur 70 tahun sepanjang masih sehat jasmani dan rohani untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Namun demikian, batasan umur 70 tahun ini juga harus memenuhi persyaratan sehat jasmani dan Rohani berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang dilakukan secara berkala pada rumah sakit umum pemerintah pusat, rumah sakit umum daerah, atau rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri yang menangani urusan di bidang hukum.

Berbeda halnya dengan perpanjangan dari umur 65 tahun menjadi umur 67 tahun yang hanya memerlukan pemeriksaan kesehatan satu kali ketika hendak diperpanjang, namun untuk perpanjangan dari umur 67 tahun menjadi umur 70 tahun, pemeriksaan kesehatan dimaksud harus dilakukan setiap tahun sampai dengan Notaris berumur 70 tahun. Artinya, setelah seorang Notaris menyelesaikan perpanjangan pada umur 67 tahun, untuk selanjutnya dapat diperpanjang ke umur 68 tahun harus melengkapi syarat hasil pemeriksaan kesehatan. Begitu pula, dari umur 68 tahun ke umur 69 tahun dan seterusnya dari umur 69 tahun ke umur 70 tahun.

Dengan putusan tersebut ribuan notaris bersyukur sekaligus berharap Kementerian Hukum dapat melaksanakan putusan tersebut.

Kami bersyukur atas adanya Putusan MK terkait perpanjangan usia notaris sampai dengan 70 tahun tersebut, kami berharap Kementerian Hukum dapat segera melaksanakan putusan MK tersebut, karena telah banyak notaris-notaris yang telah berusia diatas 67 tahun yang masih sehat, sehingga kami berharap MK segera melaksanakan Putusan MK tentang perpanjangan masa usia pensiun notaris sampai 70 tehun tersebut.

Perjuangan ini adalah perjuangan bersama seluruh pengurus, para pemohon, saksi, ahli, kuasa hukum , pihak terkait Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan 193 amicus curiae serta seluruh Notaris Indonesia yang memberikan dukungan dalam permohonan ini.

Cek atau Bilyet Giro yang tidak bisa di Cairkan Merupakan Tindak Pidana Penipuan 378 KUHP

Cek atau bilyet giro biasanya digunakan untuk melakukan pembayaran atau memenuhi sebuah perjanjian. Namun, dalam beberapa kasus, cek atau bilyet giro yang digunakan ternyata tidak bisa dicairkan karena tidak ada/tidak cukup dananya. Dalam keadaan yang seperti itu, Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindakan penipuan melalui Putusan No. 133K/Kr/1973. Putusan itu menyatakan bahwa seseorang yang menyerahkan cek, padahal ia mengetahui bahwa cek itu tidak ada dananya, perbuatannya merupakan tipu muslihat sebagai termaksud dalam Pasal 378KUHP.

Pandangan ini kemudian diadopsi atau dipergunakam kembali dalam putusan Putusan No. 1036 K/Pid/1989, yang menyatakan bahwa karena sejak semula Terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban tidak ada dananya atau dikenal dengan cek kosong, tuduhan penipuan harus dianggap terbukti.

–> Putusan Mahkamah Agung No. 133K/Kr/1973 dan Yurisprudensi MA No. 5/Yur/Pid/2018.

PERJANJIAN YANG DIBUAT DENGAN TEKANAN MELANGGAR PASAL 1320 KUHPERDATA DAN DAPAT DIBATALKAN

PERJANJIAN YANG DIBUAT DENGAN TEKANAN MELANGGAR PASAL 1320 KUHPERDATA DAN DAPAT DIBATALKAN

Perjanjian yang dibuat dibawah tekanan adalah tidak sah. Sebab melanggar asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan:

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.”

Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 2356 K/Pdt/2008 tertanggal 28 Februari 2009 yang menyatakan bahwa:

“perjanjian jual beli yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah merupakan miisbruik van Omstandigheiden yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu tidak adanya kehendak yang bebas dari salah satu pihak.”

Berdasarkan dasar hukum di atas, maka perjanjian jual beli yang dibuat di bawah tekanan adalah tidak sah sehingga dapat dibatalkan

Hutan Adat yang Tumpang Tindih dengan Wilayah Area perusahaan Harus Melalui Jalur Perdata

PENYELESAIAN SENGKETA HUTAN ADAT TERMASUK WILAYAH YANG TUMPANG TINDIH DENGAN AREA PERUSAHAAN HARUS DISELESAIKAN MELALUI JALUR PERDATA UNTUK MENENTUKAN STATUS KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH TERSEBUT

Dalam perkara ini, Sdr. Sorbatua Siallagan (Terdakwa) mengklaim bahwa tanah di Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang berada di area konsesi PT. Toba Pulp Lestari Tbk, merupakan tanah adat/ulayat milik masyarakat adat keturunan Op. Umbak Siallagan. Klaim ini didasarkan pada sejarah yang menyebutkan penguasaan tanah tersebut selama sekitar 200 tahun oleh nenek moyang mereka. Karena mengklaim tanah tersebut sebagai tanah adat/ulayat, sejak 2018, masyarakat adat Op. Umbak Siallagan yang dipimpin oleh Terdakwa menguasai wilayah tersebut. Mereka menebang pohon Eucalyptus milik PT. Toba Pulp Lestari Tbk dengan alat seperti pisau dan parang, kemudian membakar sisa tanaman. Setelah PT. Toba Pulp Lestari Tbk memanen pohon Eucalyptus, masyarakat membersihkan sisa-sisa kayu dan menanami lahan dengan ubi, tomat, jagung, dan cabai.

Meski sudah diberi peringatan sekitar 20 kali oleh PT. Toba Pulp Lestari Tbk, mereka tetap membakar dan menanami lahan tersebut tanpa izin resmi. Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara, tidak ada izin penggunaan lahan atas nama kelompok mereka. Aksi mereka tidak memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Tindakan tersebut dianggap melanggar Pasal 50 ayat 2 huruf b UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telah diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 terkait Cipta Kerja. Data lapangan dan peta koordinat dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa lokasi tersebut termasuk dalam kawasan hutan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Atas perbuatannya tersebut, Pengadilan Negeri Simalungun memutuskan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengerjakan dan Menduduki Kawasan Hutan” sebagaimana diatur dalam Pasal 36 angka 19 jo Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 36 angka 17 jo Pasal 50 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp 1.000.000.000,-, dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan. Terdakwa kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan.

Dalam alasan bandingnya, Terdakwa menjelaskan bahwa Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan keadaan adanya tumpang tindih terkait objek tanah tersebut. Selain itu, sedang berlangsung juga upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Terdakwa bersama-sama dengan komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk. Upaya penyelesaian tersebut juga merupakan rekomendasi dari KLHK, dan rekomendasi dari Komnas Ham. Oleh sebab itu, Terdakwa berpendapat bahwa seharusnya pertimbangan hukum Majelis Hakim menyatakan penyelesaian sengketa lahan antara masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk harus mendahulukan penyelesaian administrasi sebelum menerapkan pendekatan pidana.

Majelis Hakim tingkat Banding kemudian menjelaskan bahwa benar Terdakwa bersama warga masyarakat Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun telah ada sebelum PT. Toba Pulp Lestari memperoleh konsesi Hutan Tanaman Industri dari Pemerintah dan telah bertempat tinggal dan bercocok tanam di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun selama kurang lebih 200 tahun.

Berdasarkan fakta hukum, terdapat sengketa kepemilikan dan penguasaan tanah antara terdakwa bersama masyarakat Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, dan PT. Toba Pulp Lestari terkait area konsesi Hutan Tanaman Industri. Menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021, penyelesaian sengketa hutan adat termasuk wilayah yang tumpang tindih dengan area perusahaan harus diselesaikan melalui jalur perdata untuk menentukan status kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut.

Oleh sebab itu, Majelis Hakim pada tingkat Banding berpendapat bahwa, terbukti ada peristiwa hukum yang dilakukan oleh Terdakwa tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan pidana tetapi adalah perbuatan perdata dan oleh karenanya Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum Penuntut Umum (Onslag van Rechtsvervolging). Majelis Hakim pun memutuskan bahwa perbuatan yang dilakukan Terdakwa terbukti ada, tetapi bukan perbuatan tindak pidana sehingga Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan Penuntut Umum.

-> Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 1820/PID.SUS-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024.

TANGGUNG JAWAB HUKUM SEBUAH PERSEROAN DAPAT DIBEBANKAN KEPADA PARA PENGURUS, APABILA TINDAKAN HUKUM MENGANDUNG IKTIKAD BURUK

TANGGUNG JAWAB HUKUM SEBUAH PERSEROAN DAPAT DIBEBANKAN KEPADA PARA PENGURUS, APABILA TINDAKAN HUKUM YANG MEREKA LAKUKAN UNTUK DAN ATAS NAMA PERSEROAN MENGANDUNG ITIKAD BURUK, SEHINGGA MENIMBULKAN KERUGIAN PADA PIHAK LAIN

Putusan Mahkamah Agung ini terkait penerapan piercing the corporate veil pada perkara antara PT. Bank Perkembangan Asia (Penggugat) melawan PT. Djaja Tunggal cs. (Para Tergugat). Kasus ini disebabkan oleh adanya itikad tidak baik dalam pemberian kredit yang ditimbulkan oleh adanya keterkaitan kepemimpinan atau rangkap jabatan direksi perseroan. Penerapan tanggung jawab hukum melalui piercing the corporate veil dilakukan Tergugat dalam perkara ini adalah Direksi atau Komisaris PT. Bank Perkembangan Asia yang merangkap sebagai Direksi atau Komisaris PT. Djaja Tunggal.

Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan berpandangan bahwa tanggung jawab hukum suatu perseroan dapat dibebankan pada para pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama perseroan mengandung itikad buruk, sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Berdasarkan fakta dimaksud yang dihubungkan dengan cara pemberian kredit dari Penggugat yang nota bene dikuasai oleh para Tergugat II-V, yang diberikan kepada perusahaan yang mereka kuasai pula (Tergugat I PT. Djaja Tunggal), dapat diduga adanya persekongkolan dan itikad buruk pada diri para Tergugat l, II, III, IV dan V.

Tergugat II, III, IV dan V sebagai pengurus dari PT. Perkembangan Asia (Penggugat) dan sekaligus pula pengurus dari Tergugat I (PT. Djaja Tunggal) dengan itikad buruk meminjamkan uang kepada Tergugat I tanpa analisis kredit serta agunannya pun Hak Guna Bangunan (HGB) No. 39-40 yang mereka sendiri tahu sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1980.

Dengan demikian kerugian yang diderita Penggugat tidak hanya dibebankan kepada Tergugat I, tapi meliputi Tergugat II, III, IV dan V secara tanggung renteng. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 12 Februari 1990. Mahkamah Agung memutuskan, antara lain, menyatakan Tergugat I, II, III, IV dan V berutang kepada Penggugat sebesar Rp. 5.502.293.038,83,-. Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar utang tersebut secara tanggung renteng.

Analisis terhadap kasus posisi di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Agung berpandangan bahwa tanggung jawab hukum suatu perseroan dapat dibebankan pada para pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama perseroan mengandung itikad buruk, sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak lain.

–> Putusan Mahkamah Agung No. 1916 K/PDT/1991.

BUKTI TRANSKRIP MELALUI PERCAKAPAN WHATSAPP DAPAT DIGUNAKAN DALAM PEMERIKSAAN SIDANG ARBITRASE

BUKTI TRANSKRIP MELALUI PERCAKAPAN WHATSAPP DAPAT DIGUNAKAN DALAM PEMERIKSAAN SIDANG ARBITRASE DAN DIAKUI KEABSAHANNYA OLEH MAHKAMAH AGUNG

PT JAB, sebuah perusahaan pialang berjangka adalah Termohon arbitrase di Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan ACW selaku nasabah karena lalai mengawasi seorang tenaga pemasaran dari Termohon. Menurut ACW, tenaga pemasaran tersebut telah melakukan transaksi dengan menggunakan username dan password akun rekening ACW tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada ACW sehingga mengakibatkan kerugian.

BAKTI memutuskan bahwa PT JAB telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum PT JAB untuk membayar ganti rugi kepada ACW. Tidak terima, PT JAB pun  memohonkan pembatalan putusan BAKTI tersebut kepada Pengadilan Negeri. PT JAB berpendapat bahwa ACW telah melakukan tipu muslihat dalam pemeriksaan sengketa arbitrase di BAKTI dengan cara mengajukan bukti print out/hasil cetak pembicaraan dalam Whatsapp antara ACW dengan tenaga pemasaran PT JAB, seakan-akan merupakan bukti yang sah secara hukum. Menurut PT JAB, bukti-bukti tersebut diajukan dengan cara yang melanggar ketentuan Undang Undang ITE, yakni dengan tidak menghadirkan seorang ahli atau penyelenggara sistem elektronik yang menjelaskan bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Pengadilan Negeri menolak permohonan pembatalan dari PT JAB tersebut dan PT JAB pun mengajukan kasasi.

Mahkamah Agung di tingkat kasasi memutuskan bahwa judex facti tidak salah menerapkan hukum karena tidak ditemukan adanya alasan bahwa telah terjadi penipuan dalam putusan arbitrase a quo, begitu pula tidak ada pelanggaran dalam acara pemeriksaan dalam proses pemeriksaan arbitrase in casu. Sebaliknya, adanya bukti tentang adanya percakapan melalui WhatsApp Messenger antara ACW dengan pegawai Pemohon, di mana saat pemeriksaan arbitrase ACW menunjukkan handphone miliknya yang berisi percakapan WhatsApp Messenger tersebut dan ACW telah mempersilahkan Majelis Hakim Perkara di BAKTI maupun Pemohon untuk mengeceknya. Mahkamah Agung menilai bahwa bukti transkrip melalui percakapan WhatsApp Messenger tersebut sah.

-> Putusan Mahkamah Agung Nomor 439 B/Pdt.Sus-Arbt/2016, tanggal 26 Juli 2016.

 

Pekerja yang Membocorkan Rahasia Perusahaan mengkibatkan Kerugian Merupakan Tindak Pidana Rahasia Dagang

Mahkamah Agung berpendapat bahwa Terdakwa/Pekerja seharusnya melindungi kepentingan perusahaan tempatnya bekerja yang telah memberi gaji dan mengikat perjanjian kerja dengan Terdakwa/Pekerja.

Dalam perkara ini Terdakwa/Pekerja mengungkapkan informasi pada pihak lain yaitu kepada PT Envico sehingga perusahaan PT Kota Minyak Automation tidak dapat memenangkan tender pengadaan cerobong api dan mengalami kerugian. Karena itu Terdakwa/Pekerja dipidana karena melanggar aturan mengenai rahasia dagang.

Duduk perkaranya sebagai berikut. Terdakwa bekerja di PT. Kota Minyak Automation yang bergerak di bidang Control System Engineering Package and Value Repair untuk membuat proposal penawaran ke klien berdasarkan data dan permintaan dari sales, melakukan design, engineering, fabrikasi proyek dan bertanggung jawab ke klien.

Kemudian perusahan dimana Terdakwa bekerja mengikuti tender pengadaan barang berupa cerobong api di PT. Medco E&P Indonesia, lalu Terdakwa menjalankan tugasnya membuat design, gambar, dokumentasi, kalkulasi harga, survey harga untuk penyusunan proposal tender tersebut.

PT. Envico adalah kompetitor yang jugan mengikuti tender tersebut. Tanpa sepengetahuan Direkturnya, Terdakwa dihubungi oleh PT. Envico, karena Terdakwa mengatakan sudah keluar dari PT. Kota Minyak Automation dan ditawari Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) untuk membuat proposal yang sama.

Terdakwa lalu membuat proposal untuk PT. Kota Minyak Automation dengan harga yang lebih tinggi dengan jumlah penawaran sebesar $ 128.404,00 sedangkan untuk proposal penawaran PT. Envico lebih rendah dengan jumlah penawaran sebesar $ 121.331,00 dan sengaja membuat PT. Kota Minyak Automation tidak memiliki software untuk perhitungan “Ground Level Concentration” sehingga tidak lolos secara tekhnikal, sehingga setelah tender dibuka oleh PT. Medco E&P Indonesia perwakilan PT. Kota Minyak Automation kalah dan diurutkan nomor 2 (dua) sedangkan PT. Envico menjadi pemenang nomor 1 dalam tender tersebut.

Perbuatan Terdakwa diketahui oleh perusahaan tempat ia bekerja karena di file computer Terdakwa terdapat Purchase Order pembelian) dan PT. Metalindo Perkasa Mandiri padahal berdasarkan Pasal 30 tata tertib kerja ayat (3) Peraturan Perusahaan PT. Kota Minyak Automation seharusnya Terdakwa merahasiakan rahasia perusahaan.

Sesuai dengan keterangan ahli ARIS IDEANTO, SH, MH dari Direktorat Hak Cipta, Design Industri, Design Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana di bidang rahasia dagang dan membuka rahasia, dan akibat perbuatan Terdakwa PT. Kota Minyak Automation mengalami kerugian material sebesar kurang lebih Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan mengalami kehilangan kepercayaan dari pelanggan.

—> Putusan Mahkamah Agung Nomor 783 K/Pid.Sus/2008 tanggal 9 Januari 2009.

PEMEGANG POLIS MENINGGAL DUNIA MAKA (PERUSAHAAN) HARUS MEMBAYAR KLAIM ASURANSI PADA AHLI WARIS

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 huruf b UU Perasuransian memberikan definisi asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Orang yang berhak menjadi ahli waris diatur dalam Pasal 833 Kitab Hukum Perdata, yaitu mereka yang memiliki hubungan darah atau terikat perkawinan seperti keturunan langsung, saudara, atau keturunan dari saudara. Dalam konteks asuransi, nama ahli waris harus dicantumkan dalam polis asuransi jiwa.

Dalam hal ini yang berhak menerima manfaat atas asuransi adalah pihak-pihak atau keluarga yang berkepentingan sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian asurannsi.

Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 241 PK/PDT/2011, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:

“bahwa polis asuransi Penggugat sah, karena pemegang polis meninggal, maka Tergugat harus membayar klaim asuransi pada ahli waris pemegang polis”

Mahkamah Agung Mengabulkan Gugatan Kepemilikan Rumah Tanpa Pencatatan Perkawinan Di Pencatatan Sipil

MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN GUGATAN KEPEMILIKAN RUMAH OLEH SANG ISTRI TERHADAP KELUARGA ALM. SUAMI KARENA WALAUPUN PERKAWINAN MEREKA TIDAK DILAPORKAN DI CATATAN SIPIL NAMUN BERDASARKAN FAKTA HUKUM YANG ADA, TELAH TERJADI PERNIKAHAN YANG DILAKUKAN SECARA ADAT TIONGHOA

Mimi (Penggugat) menikah dengan Yulianto pada tanggal 26 November 1996 di Kota Malang secara adat Tionghoa dan tidak melaporkannya ke Kantor Catatan Sipil. Pada tanggal 13 Desember 2004 Yulianto meninggal dunia. Keluarga Yulianto (Tergugat) berpendapat mereka adalah ahli waris yang sah atas rumah yang dihuni Mimi dan Alm. Yulianto.

Sertifikat tanah dan bangunan tertulis atas nama Yulianto dikuasai oleh Keluarga Alm. Yulianto sedangkan Mimi menguasai fisik rumah tersebut. Berdasarkan fakta yang terungkap, rumah tersebut adalah rumah yang dibangun bersama oleh Mimi dan Yulianto selama mereka pacaran dan rumah itu memang diperuntukkan sebagai rumah bersama mereka setelah melangsungkan pernikahan.

Setelah menikah mereka tinggal di rumah tersebut. Pengadilan Negeri Malang memutuskan perkawinan Mimi dan Alm. Yulianto adalah sah dan Mimi berhak atas rumah tersebut. Keluarga Alm. Yulianto mengajukan banding dan Pengadilan Tinggi Surabaya memutuskan bahwa pernikahan antara Mimi dan Yulianto secara Tionghoa yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan SIpil adalah tidak sah sehingga Mimi tidak berhak atas rumah tersebut dan menetapkan keluarga Alm. Yulianto sebagai para ahli waris yang berhak atas rumah tersebut.

Mimi mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung dalam pertimbangannya berpendapat bahwa berdasarkan fakta hukum yang ada, telah terjadi perkawinan antara Mimi dengan Yulianto secara adat Tionghoa pada tanggal 26 November 1996.

Karena itu, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan dan menyatakan Mimi (Penggugat) berhak atas rumah atas nama Yulianto dan memerintah keluarga Alm. Yulianto untuk menyerahkan sertifikat rumah tersebut kepada Mimi.