Pelatihan Aspek Legalitas Pada Perjanjian Kredit Di PT. Bank Perekonomian Rakyar (BPR) Laksana Abadi Sunggal

Dalam praktik perbankan, khususnya di tingkat Bank Perekonomian Rakyat (BPR), perjanjian kredit merupakan instrumen vital yang mengikat hubungan hukum antara bank dan nasabah. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak pegawai maupun nasabah yang belum sepenuhnya memahami aspek legalitas dalam penyusunan maupun pelaksanaan perjanjian kredit. Kondisi ini berpotensi menimbulkan persoalan hukum, mulai dari wanprestasi hingga sengketa perdata yang merugikan kedua belah pihak.

PT. BPR Laksana Abadi Sunggal mengambil langkah progresif dengan menyelenggarakan pelatihan aspek legalitas bagi pegawainya. Inisiatif ini patut diapresiasi karena menegaskan komitmen lembaga perbankan untuk menempatkan hukum sebagai fondasi tata kelola yang sehat. Melalui pelatihan tersebut, pegawai tidak hanya memahami syarat sah perjanjian dan konsekuensi hukum, tetapi juga terlatih menyusun dokumen kredit yang sistematis, transparan, dan memiliki legitimasi hukum yang kuat.

Dampak positif dari pelatihan ini tentu tidak hanya dirasakan oleh pihak internal bank, tetapi juga oleh masyarakat. Dengan meningkatnya kompetensi pegawai, nasabah memperoleh jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih baik dalam mengakses pembiayaan. Hal ini penting mengingat BPR merupakan tulang punggung bagi sektor usaha kecil dan menengah, yang sangat bergantung pada layanan kredit untuk menjaga keberlangsungan usahanya.

Oleh karena itu, pelatihan aspek legalitas semacam ini semestinya tidak hanya menjadi program internal satu bank saja, melainkan perlu diperluas dan diadopsi secara nasional. Dengan memperkuat pemahaman hukum di tingkat perbankan rakyat, kita bukan hanya membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan, tetapi juga memperkuat sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis pada prinsip keadilan, kepastian, dan perlindungan hukum.

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional: Antara Kepastian Hukum dan Tantangan Birokrasi

Di era globalisasi, hubungan bisnis lintas negara semakin intensif. Perjanjian dagang, investasi, hingga proyek infrastruktur sering kali melibatkan pihak dari berbagai yurisdiksi. Sengketa pun tidak dapat dihindari. Di sinilah arbitrase internasional hadir sebagai jalan tengah: cepat, rahasia, dan yang terpenting, putusannya bersifat final dan mengikat.

Namun persoalan mendasar muncul: bagaimana memastikan putusan arbitrase internasional benar-benar bisa dilaksanakan di suatu negara? Di tingkat global, Konvensi New York 1958 telah menjadi tonggak penting. Lebih dari 170 negara, termasuk Indonesia, telah meratifikasinya. Konvensi ini pada prinsipnya mewajibkan negara anggota untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing, kecuali jika bertentangan dengan ketertiban umum.

Di Indonesia, pelaksanaan putusan arbitrase internasional diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Mekanismenya cukup jelas: putusan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lalu dimintakan exequatur kepada Mahkamah Agung. Jika dikabulkan, putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan pengadilan Indonesia.

Sayangnya, praktik di lapangan sering kali tidak semudah itu. Proses birokrasi yang panjang, penafsiran luas atas alasan public policy, serta kurangnya konsistensi antarnegara dalam mengakui putusan arbitrase membuat kepastian hukum menjadi rapuh. Contoh nyata adalah kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company (KBC). Meskipun arbitrase di Swiss memenangkan KBC, pelaksanaan putusan di Indonesia terhambat bertahun-tahun dan akhirnya eksekusi lebih efektif dilakukan di luar negeri.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Indonesia sungguh siap menjamin kepastian hukum bagi investor asing? Padahal, kredibilitas kita dalam melaksanakan putusan arbitrase menjadi tolok ukur penting bagi iklim investasi. Semakin negara dianggap tidak ramah terhadap arbitrase, semakin investor enggan menanamkan modal.

Opini ini tidak bermaksud menyalahkan mekanisme yang ada, melainkan mengajak pada refleksi. Penyederhanaan prosedur exequatur, peningkatan pemahaman hakim tentang arbitrase internasional, serta komitmen untuk tidak mudah berlindung di balik dalih public policy adalah langkah nyata yang bisa diambil.

Pada akhirnya, pelaksanaan putusan arbitrase internasional bukan hanya persoalan teknis hukum, tetapi juga komitmen politik dan ekonomi. Jika Indonesia ingin tampil sebagai destinasi investasi terpercaya, sudah saatnya kita menempatkan kepastian hukum di atas segala bentuk ketidakpastian birokrasi.

Mahasiswa Universitas Medan Area: Pelatihan KDMI dan NUDC untuk Persiapan Kompetisi Debat Nasional

Medan, 19 Juli 2025_ Universitas Medan Area (UMA) menyelenggarakan pelatihan intensif bagi mahasiswa peserta Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI) dan National University Debating Championship (NUDC) sebagai bagian dari persiapan menghadapi kompetisi tingkat wilayah dan nasional.

Pelatihan ini diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa terbaik yang telah lulus seleksi internal. Mereka mendapatkan pembinaan langsung dari dosen pembimbing, praktisi debat, serta alumni KDMI dan NUDC yang telah menorehkan prestasi di tingkat nasional. Materi pelatihan mencakup teknik argumentasi, struktur debat, kemampuan berpikir kritis, serta simulasi debat dengan berbagai mosi aktual yang sedang berkembang baik di tingkat nasional maupun global.

“KDMI dan NUDC bukan sekadar lomba debat, tapi menjadi ajang pembuktian bahwa mahasiswa UMA mampu bersaing secara intelektual dan menunjukkan kapasitas kepemimpinan serta kecakapan komunikasi,” ujar Dewan Juri adelia, SH & Mhd. Ansor Lubis, SH.,MH.

Selain pelatihan teknis, peserta juga diberikan pembekalan mengenai isu-isu aktual seperti demokrasi, lingkungan hidup, kebijakan pendidikan, hubungan internasional, dan isu-isu sosial budaya. Hal ini diharapkan dapat memperkuat substansi argumen dan wawasan peserta dalam menghadapi kompetisi yang sangat kompetitif.

Pelatihan KDMI dan NUDC ini menjadi bagian dari strategi UMA dalam meningkatkan kualitas non-akademik mahasiswa, sekaligus mendorong pencapaian prestasi di tingkat nasional yang membawa nama baik institusi.

Diharapkan dengan pelatihan ini, delegasi Universitas Medan Area dapat tampil maksimal dan membawa pulang prestasi membanggakan pada ajang KDMI dan NUDC yang diselenggarakan oleh Balai Pengembangan Talenta Indonesia (BPTI), Kemendikbudristek.

Pelantikan FKMPP 2025–2026: Menguatkan Kiprah Mahasiswa Padang Lawas dalam Pembangunan Daerah

Pelantikan kepengurusan baru Forum Komunikasi Mahasiswa Pemerhati Padang Lawas (FKMPP) periode 2025–2026 bukan sekadar seremonial organisasi. Kegiatan yang dirangkaikan dengan Dialog Publik ini menjadi momentum penting untuk menegaskan eksistensi dan arah perjuangan mahasiswa asal Padang Lawas dalam menjawab tantangan pembangunan daerah.

Dengan mengusung semangat kolaborasi dan kepedulian terhadap tanah kelahiran, FKMPP terus membangun ruang diskusi dan gerakan yang konstruktif. Organisasi ini menjadi wadah strategis bagi mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi, menyusun gagasan, dan melakukan aksi nyata demi kemajuan daerah dari berbagai sektor pendidikan, ekonomi, budaya, hingga sosial kemasyarakatan.

Dalam pelantikan ini, para pengurus yang baru diharapkan mampu membawa semangat perubahan dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan, tanggung jawab, dan integritas. Lebih dari itu, FKMPP diharapkan dapat terus menjadi ruang tumbuh yang menyatukan semangat mahasiswa di perantauan dengan kecintaan pada daerah asal.

Ujar “Narasumber sepakat bahwa Kegiatan pelantikan ini sekaligus menjadi ajang pengabdian kepada masyarakat, di mana mahasiswa tidak hanya berhenti pada tataran ide, tapi juga berupaya menghadirkan kontribusi nyata di lapangan terutama dalam hal Pembangunan di daerah Padang Lawas.

Harapannya, langkah kecil ini menjadi pijakan besar bagi generasi muda Padang Lawas untuk terus bergerak, berpikir kritis, dan bersatu demi masa depan daerah yang lebih baik.

 

Meminjam Badan Hukum dan Memenangkan Lelang adalah TIPIKOR

Roni Napu (Terdakwa) adalah Pelaksana Pengadaan alat berat jenis Bad Truck (tronton) pada Dinas PU dan Kimpraswil Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dengan nilai proyek sebesar Rp1.287.500.000 dan dilaksanakan oleh CV Aneka Konstruksi. Dari persidangan terbukti bahwa CV Aneka Konstruksi hanya dipinjam oleh Terdakwa untuk mengikuti proses lelang dan memenangkan proyek. Terdakwa bahkan juga menggunakan CV lain dalam lelang agar meningkatkan peluang menang. Perbuatan ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 huruf e Perpres 54/2010 terkait larangan konflik kepentingan dalam proses pengadaan.

Meskipun pekerjaan telah diselesaikan dan pembayaran telah dilunaskan, hasil audit Inspektorat Daerah Bolaang Mongondow menunjukkan adanya mark-up harga yang menyebabkan terjadinya kelebihan bayar dan menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp449.397.696. Alhasil, Pengadilan Negeri Manado memutuskan Terdakwa terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dalam Pasal 3 UU 31/1999 jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun serta denda sebesar Rp50 juta.

Putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Manado, yang menyatakan Terdakwa terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) UU 31/1999 jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP (korupsi secara melawan hukum), dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp200 juta kepada Terdakwa, di mana jika tidak dibayarkan, diganti menjadi kurungan selama 4 bulan. Terdakwa juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.224.698.848.

Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum dan Terdakwa. Namun, Mahkamah Agung memperbaiki pidana pengganti jika denda tidak dibayarkan menjadi kurungan selama 6 bulan, tetapi masih dengan pidana yang sama.

-> Putusan Mahkamah Agung Nomor 1560 K/Pid.Sus/2020, tanggal 18 Juni 2020.

HIBAH PROYEK FIKTIF MERUPAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Universitas Kanjuruhan Malang telah menerima dana hibah sebesar Rp3 miliar dari Dirjen Dikti. Kemudian, Drs. Parjito, M.P., (Terdakwa) selaku Pembantu Rektor I dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), merancang proyek fiktif berupa pembangunan Gedung Multikultural senilai Rp2,29 miliar bersama-sama dengan Rektor dan Bendahara Universitas. Namun, pengerjaan gedung sebenarnya telah dilakukan secara mandiri oleh pihak Universitas yang dananya berasal dari PPLPT-PGRI. Akan tetapi, Terdakwa menggunakan dan menandatangani dokumen fiktif berdasarkan pembangunan tersebut untuk mencairkan dana hibah kepada PT APK (penyedia) yang kemudian ditransfer kembali ke rekening Rektor Universitas. Terdakwa juga mendapatkan keuntungan pribadi sebesar Rp300 juta. Alhasil, negara dirugikan sebesar Rp2.091.428.000.

Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama sesuai Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b Ayat (2) dan Ayat (3) UU 31/1999 oleh Pengadilan Negeri Surabaya, dan dihukum penjara selama 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp50 juta. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.

Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menilai Judex Facti salah menerapkan hukum, karena selain Terdakwa juga menikmati keuntungan pribadi, penyimpangan dana hibah tersebut bertentangan dengan berbagai peraturan, seperti UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Mahkamah Agung menyatakan Terdakwa bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama sesuai Pasal 2 jo Pasal 18 UU 31/1999 (korupsi secara melawan hukum) dan menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp300 juta.

-> Putusan Mahkamah Agung Nomor 2534 K/Pid.Sus/2018, tanggal 15 Januari 2019.

PERSEKONGKOLAN DENGAN PESERTA LELANG MERUPAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERSEKONGKOLAN DENGAN PESERTA LELANG MERUPAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam pengadaan mesin genset RSUD Kota Langsa, Azhar Pandapotan (Terdakwa) selaku Wakil Direktur Administrasi RSUD Kota Langsa sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menunjuk CV. Indodaya Bio Mandiri dengan nilai kontrak sebesar Rp1.778.502.000, namun penunjukkan tersebut dihasilkan dari persekongkolan dengan Direktur CV. Indodaya Bio Mandiri, padahal perusahaan tersebut tidak layak untuk dimenangkan dan hasil pekerjaan juga tidak sesuai kontrak. Selain itu, CV. Indodaya Bio Mandiri membeli genset dari distributor lain dengan harga yang jauh lebih rendah dari kontrak, sehingga menyebabkan selisih yang cukup banyak. Alhasil, negara dirugikan sebanyak Rp269.675.190.

Terlepas bukti-bukti dan fakta, Terdakwa dinyatakan tidak terbukti melakukan korupsi baik dalam dakwaan primair maupun subsidair oleh PN Banda Aceh, sehingga Terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan. Selanjutnya, berdasarkan permohonan kasasi dari Penuntut Umum, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum, karena Terdakwa selaku KPA dan PPK telah ikut serta dalam persekongkolan tender, mulai dari penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) hingga pengikatan kontrak dengan CV. Indodaya Bio Mandiri yang menurut hasil audit investigatif BPK tidak layak dimenangkan.

Perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur korupsi dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2) dan Ayat (3) UU 31/1999. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi tersebut, dan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama, dan menjatuhkan Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp50 juta.

-> Putusan Mahkamah Agung Nomor 2514 K/Pid.Sus/2020, tanggal 14 September 2020.

POINT-POINT RUU KUHAP YANG BERTENTANGAN DENGAN KEBEBASAN ADVOKAT DALAM BERACARA

 

1. Pelarangan Advokat untuk berpendapat atau berbicara di muka umum adalah bentuk pengekangan Advokat sebagai Profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab yang dilindungi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Bayangkan apabila ada prosedur persidangan yang tidak diterapkan sesuai Hukum Acara, maka tidak mungkin bagi seorang Advokat yang menangani perkara klienya tersebut harus tinggal diam membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan di dalam pengadilan. Sebagaimana diketahui, kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;

 

2. Pelarangan Advokat untuk berbicara dimuka umum jelas melanggar Hak Asasi Manusia, karena bagaimanapun Advokat adalah setiap orang yang juga dilindungi Hak Asasi Manusianya sama seperti Warga Negara lainnya. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia secara tegas melindungi setiap Warga Negara untuk menyebarluaskan Pendapat: “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa”. Bagaimana mungkin seorang Advokat yang telah disumpah menurut hukum demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum namun ia dilarang untuk berbicara. Seorang Advokat yang telah disumpah memiliki kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawabnya untuk menjalankan profesinya;

3. Advokat adalah profesi istimewa selain harus mampu beracara di pengadilan, Advokat juga harus mampu berbicara di muka umum untuk mewakili kliennya, atau masyarakat, atau penerima bantuan hukum, sehingga rumusan Pasal 142 ayat 3 huruf b RUU KUHAP tersebut HARUS DIHAPUS karena sangat jelas merendahkan kehormatan, martabat dan tanggung jawab Advokat sebagai Profesi Istimewa dan Officium Nobile;

4. Advokat merupakan bagian dari penegak hukum yang tentu harus berelasi dengan masyarakat termasuk media. Bayangkan jika Advokat dibungkam, maka siapa lagi yang akan membela Klien dan masyarakat apabila terjadi kesewenang-wenangan dalam proses peradilan yang sedang berjalan;

5. ⁠Untuk dan oleh karena itu, kami berpendapat bahwa memberikan pandangan, pendapat atau opini seharusnya sah-sah saja dalam negara Demokrasi Pancasila ini, apalagi sejalan dengan menyuarakan rencana akan mengambil upaya hukum lanjutan ke tingkat berikutnya karena ketidak puasan atas putusan pengadilan. Ini juga sebagai bentuk pengawasan kami para Advokat terhadap berjalannya proses peradilan yang sewajibnya jujur, adil,dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Perlu kami tekankan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar memerlukan profesi Advokat sebagai pengawas yang setara. Advokat juga tunduk kepada Kode Etik Profesi dan selama ini yang tidak boleh dilakukan oleh Advokat adalah tendensius yang menghina pengadilan atau badan peradilan.

DPR resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI Menjadi UU

DPR resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI dalam sidang paripurna hari ini, Kamis (20/3/2025). Sejumlah perubahan besar disetujui, mulai dari perluasan jabatan sipil yang bisa ditempati prajurit aktif hingga kenaikan batas usia pensiun.

📌 Apa Saja Perubahan Penting dalam RUU TNI?

✅ Tambahan Wewenang Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
🔹 TNI kini bisa menangani ancaman siber
🔹 TNI diberi kewenangan melindungi dan menyelamatkan WNI di luar negeri

✅ TNI Aktif Bisa Duduki Jabatan Sipil
🔹 Jumlah instansi yang bisa diisi TNI bertambah dari 9 menjadi 14
🔹 Termasuk BNPP, BNPB, BNPT, Bakamla, hingga Kejaksaan RI (JAM Pidmil)

✅ Usia Pensiun Bertambah
🔹 Bintara & Tamtama → 55 tahun
🔹 Perwira hingga Kolonel → 58 tahun
🔹 Jenderal Bintang 1 → 60 tahun
🔹 Jenderal Bintang 2 → 61 tahun
🔹 Jenderal Bintang 3 → 62 tahun
🔹 Jenderal Bintang 4 → 63 tahun (bisa diperpanjang hingga 2 tahun)

Selain itu, Perwira Purnawirawan kini bisa direkrut sebagai Perwira Komcad untuk mobilisasi jika memenuhi syarat.

Pidana Bagi Masyarakat Yang Menjual Pupuk Bersubsidi diatas Harga Ecer yang ditetapkan Pemerintah

Jumbriansyah (Terdakwa) adalah seorang pengusaha yang menjual pupuk bersubsidi jenis urea di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan Pemerintah. Pupuk bersubsidi tersebut berasal dari PT Agustina Karya Abadi yang akan disalurkan kepada kelompok tani yang terdaftar di RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) di wilayah Kotabaru. Pupuk itu dijual melalui Kios Jaya Mandiri, tempat usaha rekanan Terdakwa. Seharusnya Pupuk bersubsidi tersebut dijual dengan HET seharga Rp2.250,00/kg, tetapi Terdakwa jual dengan harga Rp2.600/kg. Karena itu Terdakwa telah meraup keuntungan Rp700 ribu.

Pemerintah Kabupaten Bener Meriah | Berita Ingin Dapatkan Pupuk Bersubsidi,  Petani Harus Ikuti Regulasi

Pengadilan Negeri Kotabaru memutuskan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana “Menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang”, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Ayat (1) j.o Pasal 10 huruf a UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan dijatuhi dengan pidana penjara selama 3 bulan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banjarmasin.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, karena Terdakwa telah menawarkan pupuk bersubsidi yang harga penjualannya melebihi harga yang sudah ditentukan berdasarkan Pasal 12 Ayat (2) Peraturan Menteri Pertanian No. 49/2020. Permohonan kasasi pun ditolak.

-> Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 K/Pid.Sus/2024, tanggal 23 Januari 2024